Kau datang membawa
Sebuah cerita
Darimu itu pasti lagu ini tercipta
Darimu itu pasti lagu ini tercipta
Sebuah cerita
Darimu itu pasti lagu ini tercipta
Darimu itu pasti lagu ini tercipta
Dari jendela kelas yang tak ada kacanya
Tembus pandang kekantin bertalu rindu
Datang mengetuk pintu hatiku
Tembus pandang kekantin bertalu rindu
Datang mengetuk pintu hatiku
Semesta seakan berhenti bergerak.
Waktu mendadak tak berdetak.
Hening. Sunyi. Beku.
Suara lantang wali kelas kami mengumumkan kedatangan siswi baru pindahan
dari sebuah kota yang jauh menyentakkan sekaligus membuat takjub kami semua.
Gadis itu, siswi pendatang baru menatap malu-malu ke arah kami sembari menunduk
tersipu. Potongan rambut mirip Lady Di dengan beberapa helai rambut jatuh
dikeningnya membuat saya terpana dalam kekaguman.
Cantik sekali dia, saya membatin. Kemeja putih dan rok biru yang dikenakan
gadis muda itu sungguh sangat kontras dengan pancaran keanggunan yang ia
miliki. Dan pada matanya. Ada rembulan mengapung teduh disana.
Seketika desir-desir aneh mulai merambati hati.
Sesuatu yang tak saya pahami selain sebuah keinginan besar untuk selalu dekat
dengannya. Menikmati segala keindahannya. Lalu menjadi bagian dari segala
kebahagiaan, juga kesedihannya. Perempuan itu telah berhasil merebut simpati
dan perhatian saya pada kesempatan pertemuan pertama. Love at the first sight.
Ya, mengenang kembali Cinta Pertama bagi saya, adalah membayangkan kembali
disuatu masa, dimana saya menjelma menjadi sesosok pria remaja kurus ceking
berseragam putih dan celana pendek biru yang berdiri tegak kaku dengan lutut
bergetar dipinggir pintu kelas, menyaksikan dia, perempuan yang selalu
jadi bunga mimpi dari malam ke malam (selanjutnya kita panggil saja “Diajeng”)
, berlalu anggun sembari melepas senyum riang yang, membuat jantung saya
berpacu kencang dengan desir aneh tak terkatakan.
“Suatu waktu, dia akan menemani saya tumbuh besar, dewasa, membangun
keluarga bahagia, memiliki anak-anak dan menjadi tua bersama”, begitulah
“tekad” sederhana yang terpatri dalam batin saya. Sebuah tekad yang mungkin
“musykil” tapi bukan mustahil untuk diwujudkan.
Saya mengenang bagaimana ketika saya dengan malu-malu mencuri pandang kearah Diajeng yang duduk di bangku depan, mengagumi setiap helai rambutnya yang berpotongan ala Lady Di serta matanya yang berpendar lembut.
Saya bahkan tak pernah berani
bertatapan langsung dengannya atau berbicara lebih lama, karena badan saya
mendadak terasa jadi kaku tak bisa bergerak.
Setiap malam, tak pernah tak
terlewatkan membayangkan sosok sang idaman hati menjelang tidur bahkan kerap
berkunjung menghiasi mimpi-mimpi, menjelma bidadari berpakaian warna warni dan
bersayap cemerlang.
Betapa dashyat “gempuran” hati
dari cinta pertama ini.
Sayang sekali, saya tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk
melakukan pendekatan secara intens. Bukan apa-apa, saya merasa rendah diri
setiap kali berhadapan dengannya. Secara status sosial ia memiliki “derajat”
lebih tinggi ketimbang saya yang hanyalah seorang putra pegawai negeri biasa
yang tinggal di Perumteks.
Setiap hari Diajeng diantar ke
sekolah oleh mobil sang ayah sementara saya mengendarai sepeda atau kadang
berjalan kaki ramai-ramai dengan teman-teman ke sekolah. Saya sungguh sungkan
dan akhirnya menganggap saya bukanlah orang yang pantas mendampinginya . Saya
mengalami inferioritas tahap akut dan parahnya itu justru saya alami pada
perempuan yang sangat saya sukai (sesuatu yang kemudian saya sesali
beberapa tahun ke depan).
Suatu Hari Diajeng datang
menghampiri saya didekat kelas kami. Kaki saya mendadak gemetar dan lidah
terasa kelu.
“Tolong, ajari saya matematika
ya?”, katanya pelan sedikit tersipu.
Saya tak bisa berkata apa-apa.
Hanya terpana (lebih tepatnya menganga).
Tak percaya rasanya mendapat
anugerah sebesar ini. Saya seumpama tokoh Ikal di film Laskar Pelangi ketika
pertama kali bertemu dengan A-Ling ketika membeli kapur tulis di Toko Sinar
Harapan. Ada kupu-kupu beterbangan dan bunga-bunga indah bertebaran dihadapan
saya dan dia. Indah sekali.
Sampai kemudian ia menyentakkan
lamunan saya dengan tawa pelan, yang, amboi..sungguh mempesona. Bagai gempa
bumi 9 scala richter berpotensi tsunami yang menggetarkan relung-relung hati
paling dalam. Ini sebuah anugerah luar biasa yang sama sekali tak terduga dan
sangat diharapkan.
Dan begitulah dengan segala
keikhlasan dan kerelaan, saya pun menemani dan mengajari Diajeng belajar
matematika di teras rumahnya yang megah setidaknya seminggu dua kali. Dengan
gagah berani-bagai ksatria perkasa berbaju zirah menunggang kuda sembrani- saya
mengendarai sepeda Jengki berwarna Oranye saya kerumahnya yang berjarak kurang
lebih 1,5 km dari rumah saya itu.
Sepeda butut saya tersebut
selalu dipacu kencang menuju kesana, tak sabar ingin segera bertemu. Kerapkali
rantai sepeda lepas dipinggir jalan dan merepotkan saya untuk memasangnya
kembali.
Saya sudah berdandan rapi
memakai minyak rambut tancho hijau yang memiliki daya lengket luar biasa dan
memberikan efek ala rambut Al Pacino dalam film “Godfather” itu serta
menyemprotkan parfum murahan ayah saya dari rumah. Sebuah upaya sistematis
romantis untuk (sedikit) meningkatkan derajat ketampanan.
Meski akhirnya penampilan itu
jadi sia-sia belaka ketika semuanya luntur saat tiba disana oleh yang keringat
mengucur deras karena letih mengayuh sepeda. Semua “penderitaan” itu terbayar
tunai hanya dengan melihat senyum manisnya yang menyambut saya, bagai Naysila
Mirdad menyongsong Dude Herlino-nya dalam sebuah episode sinetron masa kini
Saya ingat betul, dalam kondisi
ngos-ngosan, Diajeng menyodorkan air putih dingin kepada saya. “Minum dulu,
capek ya? Makanya jangan ngebut-ngebut naik sepedanya,” kata Diajeng sembari
memamerkan senyumnya yang fenomenal itu. Terasa benar rasa letih saya mendadak
menguap ke udara dan terganti dengan rasa bahagia menyeruak di dada. Dengan
tangan yang masih ada sisa oli pelumas rantai sepeda, saya meraih gelas yang
disodorkan Diajeng lantas mereguknya dengan lahap, melampiaskan dahaga. Ia
menyaksikan aksi spontan saya itu sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan
kepala.
Sebagai “bintang kelas” tak ada
kesulitan buat saya mengajarkan soal-soal matematika kepada sang wanita pujaan
hati. Meski memang konsentrasi saya kadang buyar karena saya kerap lebih
menikmati pesona wajahnya ketimbang serius mengajari matematika.
Walau tak terkatakan, dari
sorot matanya saya tahu, Diajeng juga menyukai saya selalu berada didekatnya,
berbagi serta bercerita tentang banyak hal. Dan kami sama-sama menjaga perasaan
itu tersembunyi didalam lubuk hati masing-masing, secara utuh dan elegan. Cinta
memang tak mesti diungkapkan secara verbal.
Ketika Diajeng harus pergi
mengikuti penugasan sang ayah ke kota lain, betapa hati saya jadi layu dan
terluka karenanya. Saya tak sempat mengungkapkan perasaan terdalam bahkan
ketika perpisahan itu tiba hanya berselang beberapa hari setelah acara
perpisahan sekolah kami.
Di hari terakhir saya bertemu
dengannya, kami berjabat tangan dan berjanji akan saling mengirim kabar. Ada
kepedihan terlihat dimatanya. Ia terlihat rikuh saat menarik kembali tangannya
yang sudah saya genggam lama. Saya tersenyum malu. Ia tertawa pelan lalu
mengangguk saat saya berkata lirih, “Jangan lupakan saya ya?”. Dengan langkah
gontai saya meninggalkan teras pekarangan rumahnya tempat dimana saya dulu
sering mengajarinya matematika. Ia masih berdiri disana saat saya menoleh
kebelakang. Ia melambaikan tangan dan menangis. Ah, sepenggal hati saya
tertinggal disana..
Dua hari setelah Diajeng pergi,
saya jatuh sakit selama seminggu. Kedua orang tua saya sempat bingung, putra
sulungnya tiba-tiba sakit tak jelas, mogok makan dan mogok sekolah. Susah
rasanya membangun kembali hati yang porak-poranda gara-gara cinta pertama yang
berakhir memilukan begini.
Kehilangan itu sungguh sangat membekas dihati. Bahkan ketika
memasuki masa SMA saya memilih untuk lebih berkonsentrasi belajar dan mengurus
OSIS SMA ketimbang menjalin hubungan cinta (baca kisah “kelanjutan” cerita ini
di “Love at The First Voice”). Saya
masih memendam harapan pada Diajeng yang ketika itu sering mengirim surat pada
saya. Di tahun kedua setelah kepergiaannya, saya kehilangan jejak dan kami tak
pernah lagi saling berkirim surat.
Kenangan cinta pertama memang
tak terlupakan. Dan kehangatannya masih tetap terasa hingga kini. Saya menandai
momen terindah dalam sepotong episode kehidupan saya ini sebagai sebuah monumen
berharga. Entah disuatu ketika (bisa jadi setelah kami sudah sama-sama tua),
saat kami akhirnya bertemu kembali, saya ingin mengajaknya mengenang masa-masa
indah itu, sembari bersenandung lagu lawas Iwan Fals “Jendela Kelas Satu” yang
kerap saya dendangkan dengan rindu membuncah saat mengayuh sepeda menuju
rumahnya mengajari Matematika
Ah, Diajeng…semoga kebahagiaan
selalu berada bersamamu..
Duduk dipojok bangku deretan belakang
Didalam kelas penuh dengan obrolan
Slalu mengacau laju hayalan
Dari jendela kelas yang tak ada kacanya
Dari sana pula aku mulai mengenal
Seraut wajah berisi lamunan
Bibir merekah dan merah selalu basah
Langkahmu tenang kala engkau berjalan
Tinggi semampai gadis idaman
Kau datang membawa
Sebuah cerita
Darimu itu pasti lagu ini tercipta
Darimu itu pasti lagu ini tercipta
Dari jendela kelas yang tak ada kacanya
Tembus pandang kekantin bertalu rindu
Datang mengetuk pintu hatiku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar