Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan sebuah direct message di
akun twitter. Seorang teman yang baru saya kenal mengatakan bahwa
12 Agustus yang lalu dia telah kehilangan sosok seorang Ayah. Membaca pesan
itu, hati saya terasa pilu. Terlebih, dia juga mengatakan sebelum Ayahnya
meninggal dia sempat mengkomentari tulisan saya tentang Memeluk Ayah.
Saat itu saya bertanya, “Apakah kamu sudah mencium kening Ayahmu Kak,
untuk terakhir kali?”
“Sudah,” jawabnya. “Namun setelah beliau tak ada.”
Kebanyakan dari kita,
mungkin selalu terlambat untuk mengungkapkan rasa sayang kepada orang tua kita.
Mungkin, hanya ada tetes air mata kerinduan setelah mereka pergi, namun saat
mereka masih bersama-sama kita, saling tertawa atau berbagi rasa, kita seperti
melupakan kehadiran mereka. Dan setelah masa keberpisahan itu tiba, baru kita
sadar, betapa kita mencintai mereka.
Beberapa lelaki,
mungkin akan tetap tangguh dengan senyuman di hadapan orang-orang saat
kerumunan berkunjung di hari berkabung itu. Namun, ada saat di mana
tembok-tembok bisu menjadi saksi, air mata yang tumpah dari seorang lelaki
sejati.
Saya kembali mengingat. Saya pernah menangisi sepupuku yang terlebih
dahulu pergi saat peristiwa tsunami terjadi
di Aceh. Aku memang tidak terlalu akrab dengan sepupu-sepupuku, aku tidak
begitu menyukai keriuahan, tetapi saat tahu bahwa mereka pergi dengan begitu
cepat, aku menangis sejadi-jadinya. Aku menangis dalam diam, cuma air mata yang
tumpah dalam alunan dada yang berguncang gundah.
Terkadang sering
sekali kita alpa. Kita mengingat mereka saat orang-orang itu telah tidak ada.
Bahkan, beberapa orang terlalu sering mencaci mereka, aku pernah melihat di
dalam salah satu forum yang bercerita tentang remaja-remaja ababil yang manja
yang mendurhakai kedua orang tua mereka. Gerahamku gemeretak saat itu. Aku
benar-benar benci dengan sikap tidak tahu terima kasih seperti itu.
Aku merasa menjadi
wanita sepertinya adalah suatu hal yang menyenangkan. Perempuan, tentu tidak
akan malu saat mereka menangis di hadapan semua orang. Perempuan, tentu tidak
akan malu saat mereka saling berbagi dan menampakkan kasih sayang. Ada rasa di
mana terkadang aku begitu malu untuk menunjukkannya. Seperti ungkapan “sayang”
kepada kedua orang tua atau saudara-saudara kandungku.
Kadang aku takut.
Takut terlambat menunjukkan bahwa sebenarnya aku mencintai mereka. Aku tidak
ingin, aku baru mampu mencium mereka saat mata mereka telah tertutup selamanya.
Teman, jangan
sia-siakan waktumu. Berapa kali engkau telah berganti kekasih? Berapa kali
setiap kekasih meninggalkanmu untuk bertemu dengan cinta yang lain, ada
orang-orang yang tidak akan pernah meninggalkanmu: mereka adalah kedua orang
tuamu dan saudara-saudaramu. Di tengah sikap mereka yang terkadang egois,
tersimpan ribuan kasih sayang dan cinta melebihi yang mampu kekasihmu berikan.
Teman, jangan sampai
terlambat. Peluk dan ciumlah kedua orang tuamu selagi sempat. Ungkapkan kata
cinta yang paling indah yang mampu engkau berikan. Sungguh, mereka adalah
orang-orang yang paling menyayangimu melebihi seribu kekasih yang terlalu
sering bercerita tentang cinta kepadamu.
Jangan sampai terlambat. Cintailah mereka. Ungkapkan
selagi sempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar